Sabtu, 20 Februari 2016

Tentang Ayah

Ayah memang tidak mengandungmu, tapi dalam darahmu, mengalir darahnya...
Ayah memang tidak melahirkanmu, tapi suaranyalah yang pertama kau dengar ketika lahir untuk menenangkan jiwamu....
Ayah memang tidak menyusuimu, tapi dari keringatnyalah setiap suapan yang menjadi air susumu...
Ayah memang tidak menyanyikanmu, agar kau tertidur, tapi dialah yang menjamin kau tetap nyaman dalam lelapmu...
Ayah memang tidak mendekapmu seerat ibumu, itu karena dia khawatir karena cintanya ia tidak bisa melepaskanmu.. ketika kau sudah bisa membangun sendiri hidupmu...
Ayahmu tidak pernah kau lihat menangis, bukan karena hatinya keras, tapi agar kau tetap percaya, dia kuat untuk kau bisa bergantung dilengannya...
Sayangi dan hormati ayahmu.. memang surga ada ditelapak kaki ibumu, tapi tidak ada surga untukmu tanpa keridhaannya...
Memang kau diminta mendahulukan ibumu, tapi ayahmu adalah jiwa raga ibumu..

Disaat itu

Memandang foto-foto lama, membaca surat-surat lama, terkadang membuatku tertawa sendiri. Terkenang pada masa-masa di mana tertawa itu mudah. Menangis itu tak terbayangkan.
Berapa tahun yang telah berlalu, dan tahun-tahun seperti apa yang menjadikan kita sampai ke titik ini?
Dulu kita pernah bermimpi jadi dokter hebat, yang tak silau oleh uang. Sekarang apa kabar idealisme itu? wakakaka....

Dulu kita nyalakan kembang api bersama sambil tertawa-tawa. Masihkah tawa yang muda itu menjadi warna keseharian kita?
Dulu kita sama bermimpi tentang selalu bersama, benar-benar menjadi mimpi belaka kah itu?
Memandang foto-foto lama, membaca surat-surat lama, terkadang membuatku tertawa sendiri. Terkenang pada masa-masa di mana tertawa itu mudah. Menangis itu tak terbayangkan.
(Kamu tak tahu ngga betapa rindu aku bicara denganmu?)

Cita-cita dan Kenyataan

Pernah nggak berpikir bahwa sesuatu itu buruk, atau mengerikan, tapi di kemudian hari kita malah berpikir sebaliknya?
Waktu lulus SMA dulu, jujur aja aku bingung lho, dihadapkan pada pilihan mau kuliah jurusan apa. Kuliah tentu bukan sekedar sekolah biasa tetapi bekal untuk bekerja.
Aku ngga pernah punya bayangan untuk bekerja, karena jujur, aku cuma mau menikah saja terus jadi kepala rumah tangga. Ironis ya, yang lain pengen jadi pria karir tapi aku malah begini. :))
Singkat cerita aku pun mengambil pilihan 1 kedokteran yang biasalah selalu aku gembar gemborkan sejak kecil. Yang kedua system informatika.
Ketrima lah di situ. Singkat cerita aku ini mahasiswa yang biasa-biasa aja, cupu, disuruh nanya malah bingung, begitu bikin tugas makin bingung.
Hingga lulus kuliah pun, aku tetap ngga pengen bekerja. Intinya adalah, awang-awangan. Takut. Karena merasa kuliah itu tidak membuatku lebih pintar. Aku tetap nggak mendapat apapun di bangku kuliah itu. Dan sialnya, pacar terakhir sudah putus jadi ndak mungkin nikah juga. :))

Hujan di sore ini

Sore ini hujan berbicara pelan
Bercerita dia tentang bunga seruni di rumah kaca
Setiap butiran yang terjatuh melontarkan suara
Yang didengar dan tersimpan di daun talas, bumi, dan puncak lampu
Dan layaknya bola ingatan yang terpecah belah
Rindu beterbangan dari pusatnya

Sore ini hujan berbicara pelan
Capung hanya mendengar sebagai desisan
Namun dibalik sayapnya ia rasakan sebuah percakapan
Tentang rindu yang menjelma pujian

Dari sungai yang menjelma awan dan menempuh ribuan
Hanya untuk menemukan kembali dan melelehi atap-atap kaca
Capung menggetarkan sayapnya, bernyanyi dan berempati ke tiap rasa yang menghinggapinya
Mungkin juga daun talas, bumi, dan puncak lampu ikut mendentangkan rintik

Bunga seruni rapuh terhadap air, tetapi alam tetap mendoakan
Agar dari sesela tanah dan bebatuan yang menyimpan
Tersampaikanlah aliran sungai menuju akarnya
Beserta rindu yang telah menempuh ribuan jarak

Kesedihanku

Beberapa bulan yang lalu, ada seseorang yang mencoba membuka pintu hatiku. tak ada alasan bagiku untuk melarangnya masuk. kubiarkan ia masuk, melihat-lihat apa yang ia cari di hatiku. awalnya aku mengira dia orang yang memang benar-benar serius ingin menyelami duniaku. ternyata aku salah, dia hanya ingin menjadi tamu saja.

Hanya sekejap datang, dan kemudian pergi tanpa kabar. pengecut, lebih tepatnya. kalau memang tak ada yang diseriusi, mengapa dia membawaku sejauh ini? oh tidak, mungkin aku yang hanya berharap lebih. tak masalah untuk pengorbanan waktu dan materi, tapi dimana letak tanggung jawabnya.?

Aku sangat bersyukur mengakhiri perasaan saat ini. aku percaya Allah akan menggantinya dengan gadis yang lebih baik. yang jelas Allah menyadarkanku bahwa ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan daripada hanya sekadar meratapi kesedihan. ya, aku sadar aku belum mencapai cita-cita yang selama ini menjadi cita-citaku dan harapan kedua orangtuaku.

Kenangan ilusi

Kubuka jendela di pagi hari. Kupandangi langit yang luas tak terbatas. Kuraba hati, kembali. Mencoba mengais apa yang tersisa dari perjalanan kalam batin, enam bulan terakhir ini. Betapa susahnya menyelami hati yang seluas langit itu. Hati pun punya ruangan tak terbatas. Segalanya menjadi esa dalam sebuah medan; menggumpal dan berdesakan lalu meletuplah aneka rasa. Gelisah, kesendirian, kesunyian, duka, lara, hampa, derita, bahagia, kangen, rindu, cinta, dan segala macam istilah; menggores cerita tak habis-habis. Berderai tak ubahnya mata langit yang meneteskan hujan.
Pagi membawa pesan-pesan baru dari semesta. Udara yang diam begitu indah menghadirkan bola dengan kemuning sinarnya.

Pagiku dulu dan kini, tak ada bedanya. Hanya ruang dan waktu yang membuatnya jadi sedikit berbeda. Pagiku kini pun kuarungi dengan gulungan cerita demi cerita yang setiap saat selalu membentuk gugusan baru. Pagiku pun tak ada capainya memotret kisah rindu dan cinta yang kubangun dan kujaga untuk seorang ......

Siapa yang memulai kisah itu? Yang pasti, akulah orangnya. Tapi aku pun tak pernah memaksa memulainya, semua berjalan tanpa rencana. Setiap kubuka jendela dan kulihat matahari di pagi hari selalu ada getarmu yang  hinggap. Hilang rasanya tak mungkin aku mengakhiri kisah itu. Hatiku telah terenggut habis hingga ke akar-akarnya.

Lewat kata-kata yang luruh di ratusan kertas putih, aku menumpahkan sepenggal kisah itu. Bagaimana mungkin aku akan mengakhiri kisah itu sementara pencarianku masih terus berjalan. Meski tangan ini mulai tertatih menulis tentangmu, kisah itu belum juga menemui titik pengakhirannya.

Kalau kini kembali aku menuliskan kisah itu, tak lain bersumber dari perjalanan pencarianku yang semakin menemui catatan-catatan baru tentangmu, tentang kita berdua. Masih saja gelisah, rindu, dan cinta ini menengahi langit dengan aneka warna, mengecup kebisuan, membungkam cakrawala dengan sejuta tanya, tanpa jawab. Ternyata, masih banyak cerita yang tertinggal dan tapak-tapak baru yang menjejak tegas dalam lelahnya penembaraanku. Dalam kisah itu, tertulis kenangan yang luruh di langit dan bumi. Aku ingin terus mencatat setiap detik kutipan cerita yang tertoreh, tanpa terkecuali. Terlalu indah melewatkan setiap gelisah yang hadir, setiap rindu yang mengetuk-ngetuk di balik temaram senja dan setiap cinta yang mengalir di hentakan nafas.

Kenangan itu mungkin saja hanya ilusi atau bahkan mimpi belaka. Aku tak peduli. Aku akan terus menjaring mimpi. Mimpi menjadi kekasihmu, yang setia dan selamanya berada dalam payung mata beningmu. Rebah dan terbaring manja di permadani hatimu, tersenyum, dan menangis di sudut bibirmu, mengabdi pada cintamu, satu.

Aku tak berdaya untuk menghapus apapun tentangmu. Aku tetap dan akan selalu menikmati semua yang ada padamu. Mungkin warasku telah menemui titik ketiadaannya. Tapi biarkan saja, semua itu tak akan mengubah apapun. Sebaris waktu bersamamu menjadi pahatan terindah dalam perjalanan hidupku. Dan itu membuatmu menjadi malaikatku, seutuh-utuhnya, segala-galanya.

Aku terlanjur sakau akanmu. Sesakau inginku untuk mengakhiri kisah ini dengan pengakhiran yang membahagiakan. Itulah mimpiku. Pilihan tetaplah sebuah pilihan. Seperti juga aku ingin memilih pengakhiran yang membahagiakan untuk menjadi titik muara dari kesakauanku. Biarlah sakau ini terus menguntit di jejak hari-hariku, menggeser tiap inci logika nalarku. Aku rela dan akan tetap menjaganya seperti janji pepohonan yang setia selamanya meneduhi alam.