Sabtu, 26 Maret 2016

Menghargai karya sendiri

Dalam kehidupan duniawi yang fana ini, kita terus-menerus belajar. Pelajaran itu bisa datang dari orang lain di sekitar, dari ilmu pengetahuan hingga dari alam itu sendiri. Tentu saja apa yang kita dapatkan tergantung sudut pandang dan cara kita menanggapi, bisa pelajaran yang positif atau malah negatif.

Sebenarnya, bagaimana orang memberikan sebuah pelajaran pun bisa dengan dua cara, kubedakan saja dengan mainstream dan anti-mainstream. Mainstrean untuk cara yang wajar, lumrah dan sering dilakukan, sedangkan anti-mainstream untuk cara-cara yang tidak wajar dan ekstrim. Salah satu pelajaran yang diberikan dengan cara anti-mainstream aku dapatkan dari guru SMP-ku dulu.

Beliau adalah Bapak Beni Triyono. Beliau merupakan guru yang nyentrik, unik, aneh dan ajaib. Pak BT, begitu kami murid-murid memanggilnya, adalah seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kelakuan, kebiasaan dan aksi-aksinya sering kali mengundang gelengan kepala keheranan.

Pak BT guru yang tidak biasa. Saat murid-murid biasanya menyematkan julukan lucu kepada guru, khususnya guru yang killer, Pak BT justru memberikan panggilan-panggilan unik kepada muridnya. Aku dipanggilnya nanonano. Menurutnya, nama Bene terlalu keren dan tidak pas buat mukaku yang sangat Batak. Ada lagi temanku yang dipanggilnya Lazarus, karena badannya yang pendek. Seorang teman lagi dipanggilnya Sompel, karena satu gigi serinya patah bersisa setengah. Sangat banyak panggilan-panggilan lain seperti Spongebob, Scooby Doo, Sinchan, yang digunakan beliau.

Pak BT sangat humoris, sering bercanda saat mengajar. Beliau juga dekat dengan murid-muridnya. Guru-guru yang lain menjulukinya sinting. Pernah beliau tak masuk kelas mengajar, saat dicari ternyata sedang main tenis meja dengan guru olahraga. Murid yang disuruh mencarinya, malah diminta jadi juri untuk menghitung skor.

Pak BT sering sekali meninggalkan kelas tanpa alasan yang jelas. Suatu kali, kelasku berisik karena ditinggalkan Pak BT begitu saja. Karena mengganggu, Bapak Kepsek masuk dan memarahi kami.

“Kalian kok berisik sekali? Siapa gurunya? Kenapa kosong?”

“Pak BT, Pak.”

“Oalah, kalo Bapak itu, Bapak pun malas ngurusinya. Kalian jangan ribut, ya!”

Bahkan Kepala Sekolah pun menyerah.

Cara mengajar Pak BT sangat ekstrim. Suatu kali kami diminta membuat cerpen. Setelah berjuang beberapa malam mengumpulkan ide, menggarap dan menyelesaikannya dengan kekuatan ekstra, cerpen yang kukumpulkan hanya dilihat sekilas, kemudian dicoret silang dengan ukuran yang besar. Cerpenku salah dan diminta dibikin ulang. Usut punya usut, kalimat pertama yang kuketik lupa diberi tanda baca titik. Tega!

Namun, dari ke-eksrim-an beliau aku belajar hal itu. Waktu itu topik pelajarannya adalah iklan. Setelah menjelaskan dengan singkat tentang apa itu iklan, Pak BT meminta kami membuat sebuah desain poster iklan untuk detergen.

“Kalian gambar poster iklannya. Yang diliat bukan bagus atau enggaknya gambar kalian, tapi ide kreatif di konsep iklannya. Jadi yang ga bisa gambar ga usah takut. Bapak tinggal dulu ya, Bapak lapar, ke kantin bentar. Nanti kalo Bapak balik, udah harus beres!”

Beliau menghilang. Suasana kelas tenang serius. Aku dan teman-temanku sibuk melakukan apa yang diperintahkannya. Hampir sejam berlalu, Pak BT kembali.

‘Oke. Udah selesai? Sompel, bawa ke sini punyamu!”

Temanku maju membawa desain poster iklan yang dibuatnya. Beliau melihat sebentar dan memberi penilaian.

Begitu bergantian satu murid maju ke meja guru menunjukkan hasil karyanya.

Tibalah giliran Rio, teman sekelasku yang pemalu, untuk dinilai.

Saat berjalan menuju meja guru, apesnya Rio berujar, “Maaf, Pak. Punyaku jelek.”

Pak BT kemudian menerima buku tulis Rio dan melemparkannya ke sudut kelas, sambil berujar sinis, “Yaudah kalo jelek!! Ngapain diperiksa!!” Ekspresi Pak BT keliatan kesal. Kelas hening keheranan. Rio sendiri menunduk dan kembali ke bangkunya.

Saat itu, yang muncul di pikiranku adalah opini bahwa Pak BT kejam dan tidak punya perasaan. Seorang guru yang harusnya mengayomi, memberikan teladan malah melakukan aksi yang sulit diterima akal sehat. Guru melempar, membuang hasil kerja siswanya. Gila!

Keadaan kelas menjadi hening dan kaku. Setelah semua murid selesai diperiksa, sebelum Pak BT menutup kelasnya, beliau berkata, “Maaf kalo Bapak kasar. Itu karyamu sendiri, hasil kerja kerasmu. Kalo kau sendiri ga menghargai, gimana orang mau menghargainya.”

Aku mengingat betul kejadian itu hingga saat ini. Walau disampaikan dengan cara yang tidak biasa, tidak baik, ajaib dan gila, nyatanya pelajaran yang beliau beri menancap, terngiang dan langsung diterima, setidaknya olehku.

Hari itu aku belajar, bahwa untuk dihargai orang lain, hal pertama yang harus dilakukan adalah menghargai karya sendiri.

Alasan kita waktu kecil

Orangtua berjasa besar melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak. Sudah sewajarnyalah kita sebagai anak berbakti dan mematuhi perintah orangtua. Tapi sering kali keinginan orangtua yang tentu aja demi kebaikan, bertentangan dengan kesenangan kita sendiri. Akhirnya, dengan pikiran polos yang menganggap kalau orangtua nggak pernah memahami, kita malah melawan dan memberontak.


Setelah melalui riset yang nggak sesuai dengan kaidah metodologi penelitian, inilah momen-momen di mana anak paling sering melawan perintah orang tua:


Belanja ke Warung

Sebenarnya nggak jadi sebuah masalah ketika orangtua meminta bantuan anak untuk belanja sesuatu ke warung. Tapi entah kenapa, sering kali orangtua menyuruh kita di waktu yang nggak tepat. Saat kita sedang melakukan hal yang disuka. Misalnya tidur atau bermalas-malasan.

Momen ini biasanya berakhir dengan adu argumen menolak permintaan orangtua. Beruntung bagi mereka yang punya adik atau kakak, permintaan ini bisa langsung disalurkan kepada mereka.

“neenoo, belikkan dulu andaliman,” teriak Mama dari dapur.

“Aduh, Ma. Lagi sibuk aku penelitian bikin toge dari biji kacang ijo. Suruh abanglah.” Aku mengelak.

“Fir, belikkan andaliman ya.” Mama beralih ke abang.

“Kok jadi aku, Ma?” Abang pun mengelak.

“Ishh, sama orangtua melawan. Durhaka kau!!!” Aku datang mengompori Mama.

“Entah kakakmu ini. Jahat kali jadi anak.” Mama terpengaruh.

“Iya, iya. Kubelikkan pun.” Abang menyerah.



Mandi

Mandi adalah sesuatu yang kita anggap sia-sia waktu kecil dulu—bagi beberapa orang tetap dianggap sia-sia bahkan saat udah dewasa. Masalahnya, walau kita nggak paham manfaatnya, tapi orangtua selalu mewajibkan kita mandi. Seakan kita akan mati kalo nggak mandi.

Alhasil kita menempuh berbagai macam cara supaya nggak mandi atau minimal mengulur-ulur waktu mandi. Ada yang pura-pura tidur terus nggak keluar lama sampai jam mandi lewat. Ada yang mengalungkan handuk di leher seakan-akan bersiap-siap mandi padahal nggak berniat mandi. Ada yang pura-pura di kamar mandi lama, cuma cuci muka doang dan keluar kamar mandi sok segar. Ada lagi yang pura-pura alergi air.

“neenoo, mandi kau?!!”

“Apa??? Mandi??? Aku alergi air, Ma. Aku kalo kenak air jadi basah. Mama tega  bikin aku basah?


Tidur Siang

Tidur siang memiliki nilai yang berbeda waktu kita kecil dulu dibanding dengan waktu kita udah dewasa. Pas masih kecil, tidur siang adalah iblis yang ingin merusak hari-hari bahagia kita. Rasanya waktu terbuang begitu aja kalo digunakan cuma untuk tidur siang. Beranjak dewasa, tidur siang adalah malaikat yang ingin selalu menenangkan hari-hari kita. Rasanya sangat tentram kalo bisa melalui hari dengan tidur siang.

Makanya, saat berhubungan dengan tidur siang, anak memiliki respon yang sama dalam melawan perintah orangtua yang berbeda.

Waktu masih kecil:

“Nak, tidur siang! Jangan main-main terus kerjamu.”

“Aduh, tunggulah bentar, Ma.”

Waktu udah besar:

“Nak, bangun kau! Tidur aja terus kerjamu.”

“Aduh, tunggulah bentar, Ma.”


Bermain dengan Teman

Entah apa yang salah dari teman kita, sehingga orangtua selalu termotivasi untuk memisahkan kita dengan mereka. Setiap teman datang, orangtua seperti melihat geng preman yang ingin merusak anaknya. Berbagai macam alasan dikeluarkan orangtua agar kita tidak bergabung dan ikut bermain dengan mereka.

“neenoo, main yok!” Teriak kawan-kawan serempak di depan rumah.

“neenoo-nya nggak ada. Lagi liburan ke jalur Gaza,” jawab Mama sok serius.

Lalu kawan-kawan itu pun pergi.

“Ih, Mama ini pembohong.”

“Ini demi kebaikanmu, Nak. Udah, kau tidur siang sana.”

Dan momen melawan itu pun terjadi lagi. Saat orangtua lengah, mengendurkan pengawasannya, kita mengendap-endap kabur dari rumah dan bergabung dengan kawan-kawan tadi.

“neenoo..., mau ke mana kau?!!” teriak Mama waktu mendengar pintu rumah dibuka.

“Ini demi kebaikanku, Ma. Udah, Mama tidur siang sana.”


Nonton Tivi

Orangtua selalu berusaha menjauhkan kita dari hal-hal yang kita senangi. Salah satu hal yang kita suka dan sebaliknya justru dibenci orangtua adalah nonton tivi. Saat sedang asyik menonton tivi, orangtua akan mengeluarkan berbagai cara untuk membuat kita berhenti nonton tivi. Anak pun demikian. Kita akan mengeluarkan berbagai cara agar tetap bisa menonton tivi.

“Nak, matikan tivi itu. Mandi kau!”

“Bentar, Ma. Tunggu iklan.”

“Nak, matikan tivi itu. Mandi terus Makan kau!”

“Bentar, Ma. Tunggu selesai acaranya ini.”

“Nak, matikan tivi itu. Mandi, terus Makan, terus kerjain PR-mu!”

“Bentar, Ma. Tunggu rusak tivinya.”

Mama melepar panci ke tivi. Tivi mati, meledak, terus berasap.

“Nah, udah rusak. Apalagi alasanmu?!!”

*hening seketika...*

Pemikiran tololku waktu kecil dulu

Semua orang dewasa pasti pernah kecil kalimat pembuka macam apa ini!
Sebagai manusia yang pernah kecil, kita pasti punya keinginan, pengalaman, dan pemikiran waktu kecil dulu yang kalo diingat sekarang jadinya tolol dan aneh.

Inilah keinginan, pengalaman dan pemikiran tololku waktu kecil dulu.

Menciptakan Alat
Mungkin efek di kampungku yang listriknya masih memprihatinkan, waktu masih SD dulu aku berkeinginan menciptakan alat penghasil listrik keren. Jadi bentuknya semacam genset gitu. Bedanya, listrik yang dihasilkan sebagian digunakan untuk menghidupkan mesin itu sendiri, lalu sebagian lagi dikonsumsi untuk menghidupkan alat-alat elektronik. Pas SMA aku baru sadar kalo ini mustahil, karena nggak ada mesin yang efisiensinya lebih dari seratus persen. Tolol!


Pengin Sakit atau Meninggal
Waktu kecil dulu, aku suka berandai-andai aku sakit atau mati. Keinginan ini padahal dengan alasan yang sangat nggak penting. Cuma pengin tau siapa yang bakal datang jenguk waktu aku sakit dan siapa yang paling sedih waktu aku meninggal. Pas udah besar sekarang, rasanya konyol pengin sakit dan meninggal untuk alasan itu doang. Tolol!

Merasa Anak Pungut
Ini menurutku pemikiran yang sering menghampiri mayoritas anak kecil, apalagi yang bukan anak tunggal. Entah karena efek sinetron, atau imajinasi yang berlebihan, kita anak kecil sering merasa anak pungut. Aku pun gitu. Kalo kakak dibeliin sesuatu, aku langsung cemburu, merasa dianaktirikan. Pernah lagi kakak dan adek-adekku dibelikan baju tidur, cuma aku yang nggak dapat. Waktu itu aku yakin kali anak pungut. Akhirnya aku tidur sambil meluk baju yang dibelikkan buat kakakku. Berharap Mama ngeliat dan ngerasa bersalah. Betul-betul drama king kali aku waktu itu. Tolol!

Pengetahuan Terbatas
Sebagai anak kecil yang otaknya belum mekar sempurna dan masih minim pengetahuan, dulu aku memahami sesuatu berbeda dari kenyataannya. Salah satu yang mungkin sering juga diyakini anak kecil adalah bulan yang mengikuti kita ke manapun kita pergi. Tapi yang paling ekstrim, waktu kecil dulu, aku taunya anak itu dilahirkan lewat anus, bukan lewat vagina. Setelah SMP dan belajar Biologi, aku baru tau selama ini aku salah. Ya kali anak pas lahir berbalut kuningnya pub. Tolol!

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya

Orangtua adalah wakil Tuhan di dunia, begitu ajaran yang kudapat semasa kecil dulu. Kalimat yang kuyakini dengan teguh itu, membuatku begitu menghormati Papa dan Mama.

Kebanyakan memang ajaran itu terbukti nyata. Papa dan Mama melakukan banyak hal, mengusahakan ini itu, untuk kami anak-anaknya, tanpa mengharapkan imbalan. Sesutau yang sangat mirip dengan cara Tuhan mencintai umatnya. Cinta kasih yang tulus, tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Beda dengan tarif murah operator seluler.

Tapi, bagaimanapun juga, harus diakui, ajaran ini sesekali salah. Ada masa di mana aku terpaksa meyakini, orangtua sama sekali bukan wakil Tuhan. Berbeda dengan Tuhan yang maha sempurna, maha mendengar, maha mengampuni dan banyak maha-maha lainnya,  tampaknya sifat itu tak dimiliki wakilnya orangtua. Kerap aku menemui alasan-alasan yang membuatku semakin yakin, walaupun orangtua wakil Tuhan, mereka tak serta merta memiliki sifat mendekati Tuhan, bahkan setengahnya Tuhan.

Mama yang pelit, tidak mewakili maha pemurah yang dimiliki Tuhan. Kalo sedang marah, Mama bisa memperkosa perutku dengan cubitan brutalnya, padahal aku udah meminta ampun karena melakukan sebuah kesalahan, tidak sedikitpun menggambarkan kalo sifat maha mengampuni Tuhan ada padanya. Papa yang kalo udah tidak setuju dengan sesutau, tak mau mendengarkan apapun alasan yang kuutarakan, jauh dari sifat Tuhan yang maha mendengar.

“Ma, belikan dulu itu!” selalu diikuti dengan “Kau pikirnya daun-daun uang itu, bisa diambil di halaman rumah!”

Papa  memang tak sering melarang. Tapi sekali Papa nggak setuju, berdebat macam mana pun hebatnya, tak akan pernah mengubah jawabannya. Debat selalu berakhir dengan, “Kubilang nggak, ya nggak!”

Waktu kecil dulu, saat menghadapi kepelitan dan cubitan brutal Mama, saat berdebat dengan Papa yang selalu nggak mau mendengar, aku berjanji apabila jadi orangtua nanti, sifat-sifat itu akan kuhindari. Aku nggak mau anak-anakku nanti, mengalami apa yang kualami. Aku pingin jadi orangtua yang lebih baik daripada Papa dan Mama.

Sekarang aku udah menjelma menjadi manusia yang lebih dewasa. Masa kecil itu udah lama berlalu.

Anehnya, tanpa kusadari bagaimana prosesnya, aku tumbuh menjadi sosok yang penuh perhitungan. Nggak membelanjakan uang sembarangan, berpikir berkali-kali untuk membeli sebuah barang, dan sulit mengikhlaskan sejumlah uang untuk barang yang mahal. Perlahan tanpa kusadari, aku memiliki sifat Mama yang dulu kubenci itu.

Beberapa waktu yang lalu, Abangku sedang berkunjung ke rumah. Kami bercerita banyak malam itu. Sampai akhirnya aku mengatakan pengin punya sepatu nike terbaru Hyperadapt, Aku yang tau ini bakal jadi ribet, lantas nggak mau mengikuti keinginanku.

“Ayolah, Bang. Beliin ya!”

“Kubilang nggak, ya nggak!”

Aku kemudian diam karena dibentak.

Dalam hati aku sadar, “Kok, abang kayak papaku, ya.”

Samar-samar, aku mendengar suara menjawab di kepalaku, “Ya, iyalah. Kalo abangmu bukan kayak papamu, baru aneh!”


Benar memang kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Kepingin punya pacar

"Kau pengen punya pacar kayak gimana?" 
"Aku pengen punya pacar yang ganteng, tinggi, putih, badannya tegap, kaya, religius, perhatian, penyabar, rajin menabung, suka membantu nenek-nenek nyebrang, naik kuda. Pokoknya pangeranlah." 

Jawaban di atas dipastikan muncul dari anak gadis kecil yang suka nonton film-film Disney. Bagi hidup mereka yang masih polos, hadirnya manusia negeri dongeng seperti itu masih bisa dipercaya. Cobalah berikan pertanyaan yang sama kepada mereka yang sudah dewasa, yang usianya sudah digempur oleh kerasnya hidup, yang matanya sudah dibukakan realitas. Syarat-syarat sulit tak muncul lagi. Paling-paling jawabannya sesederhana, "Yang penting baik aja." 

Semakin rumit hidup, semakin sederhana keinginan. Sebaliknya, saat hidup masih belum kusut dengan masalah-masalahnya, banyak hal rumit ingin direalisasikan. Ingatkah waktu kita kecil dulu? Saat hidup masih begitu sederhana? Kita menginginkan hal-hal rumit: hujan coklat, pesawat jatuhin uang dari langit, punya kemampuan ngebaca pikiran orang lain, bisa lari di atas air, dan banyak lainnya yang dulu muncul dalam imajinasi. Kenyataan pelan-pelan menyadarkan kita. Usia membawa kita masuk ke dalam benang kusut. Sekarang, saat hidup semakin berat, keinginan sudah sesederhana,

 "Besok pas weekend, pengen tidur seharian." Aku masih ingat dulu, saat masih SMP, aku punya kriteria yang cukup banyak untuk seorang pacar. Tomboy, rambut pendek, putih, tidak lebih tinggi dariku, suka baca, dan fans AS Roma. Sekarang, kriteria itu sudah menguap jauh. Jadi kalo sekarang aku dikasih pertanyaan kayak di atas, aku akan jawab, "Yang penting dia bisa ngerti dan bisa damai sama mamaku." 
Karena realitas membuatku melihat, ada kalanya pasangan dan ibu tak berjalan beriringan. 

True story