Senin, 28 September 2009

[diamku untuk airmataku]

Wahai hamba menggapai damai, biarkan aku terdiam sejenak. Aku memerlukan waktu sejenak untuk meneteskan air mataku. Maka tidak pula hanyalah engkau yang menginginkan diam dan tenang. Akupun demikian. Maka sebenar-benar diriki sekarang adalah diriku yang tidak ingin engkau usik. Yaitu ketika aku diam. tetapi ketahuilah bahwa sebenar-benar yang terjadi adalah bahwa diamku tidak lah sama dengan diammu. Jikalau diammu engkau rasakan sebagai euporia kemenangan. Maka diamku adalah euporia kesedihan. Aku terdiam karena tidak bisa melantunkan kata-kataku. Aku terdiam karena memberi kesempatan kepada diriku untuk menangis. Tetapi mengapa ketika ketika aku terdiam dan menangis, engkau pergi dari hadapanku?

[kemenanganku]

Salam, kembali wahai orang tua berambut putih. Benar apa yang engkau katakan. Ketahuilah bahwa aku sedang menikmati kemenanganku sendiri, maka janganlah kau usik diriku dengan titah-titahmu lagi. Semuanya yang engkau katakan, semuanya yang engkau pikirkan bahkan semuanya yang akan engkau ucapkan, terkira-kira aku telah mengetahuinya. Aku telah mengetahui prinsip dan pokoknya. Aku telah mengetahui arah dan tujuannya. Jadi biarlah aku menikmati kepastian dan kemenanganku ini sendirian tanpa engkau usik kembali. Maka sebenar-benar aku sekarang adalah aku yang tidak lagi memerlukanmu. Inilah yang selama ini aku perjuangkan. Inilah yang selama ini berusaha raih dengan segenap pengorbananku. Maka sekali lagi, aku dapat katakan bahwa diriku sekarang adalah sebenar-benar diriku yang tidak memerlukan dirimu lagi. Bahkan ketika engkau mengaku sebagai pertanyaanku dan ketika engkau mengaku sebagai ilmuku sekalipun, maka sebenar-benar bahwa aku tidak lagi memerlukan dirimu lagi. Kenapa engkau hanya diam seribu bahasa. Bukankah engkau tadi juga sempat pergi, tetapi mengapa sekarang engkau menghampiriku lagi, wahai orang tua?